Lestarikanlah Kesantunan yang Terancam Langka! (Autokritik Untuk Kader PKS)
PelitaDakwah Masih terkenang hingga sekarang, sebuah cerita heroik yang saya dengar pada masa kampanye pemilu 1999 silam. Ketika Partai Keadilan baru berdiri. Dan para aktivis dakwah yang bertahun-tahun bergulat di dunia pemikiran di kampus harus mulai belajar berkecimpung di dunia politik.
Dua orang itu dipertemukan oleh Allah swt di sebuah angkot. Seorang pemudi mengenakan jilbab rapi dan syar’i, duduk di seberang seorang pemuda yang tampil dengan aksesoris yang mencirikan simpatisan sebuah partai sekuler yang sedang populer. Pemuda itu memandang dengan tatapan tak bersahabat ke arah pemudi yang di depannya. Tiba-tiba saja ia berkata, “Kalau kami menang, kalian lah yang pertama kali kami habisi.”
Kalimat itu mengagetkan si pemudi. Namun dengan tenang ia membalas, “Kalau kami menang, kalian lah yang pertama kali kami santuni.” Ya, pemuda itu mengenali bahwa si pemudi adalah kader Partai Keadilan.
Kebenaran cerita di atas tidak bisa dipastikan, karena beredar dari mulut ke mulut hingga sampai di kota saya tinggal saat itu, di Bandar Lampung. Kisah tersebut kabarnya terjadi di Jakarta. Pada suatu kesempatan saya tanyakan kepada kenalan saya yang tinggal di Jakarta. Ia mengaku pernah mendengar juga cerita di atas.
Meski tak dapat dikonfirmasi, namun kisah itu telah menjadi motivasi bagi kader-kader Partai Keadilan untuk berlaku santun kepada siapa saja.
Di awal berdirinya Partai Keadilan, kesantunan kader-kadernya telah diakui oleh banyak pihak. Salah satunya adalah Dahlan Iskan. Dimuat di harian Suara Indonesia 21 September 1998, beliau yang kala itu menjadi pimpinan Jawa Pos menulis testimoni dengan judul “Masa Santun di Dunia yang Bergetah”. Terkagum-kagum Dahlan Iskan melihat ribuan orang yang hadir dalam deklarasi Partai Keadilan di Gelora Pancasila Surabaya dengan penuh ketertiban. Bahkan bagaimana kader PK memperlakukan anak-anaknya menjadi detail yang berkesan baginya.
Kesantunan itu makin tersiar lagi kala stasiun-stasiun televisi menayangkan langsung debat calon presiden yang diikuti oleh Amin Rais, Yusril Ihza Mahendra, Sri Bintang Pamungkas, dan Didin Hafidhuddin. Sebuah insiden terjadi. Amin Rais menyindir Yusril yang bekerja untuk mantan presiden Suharto sebagai penulis naskah pidato. Kecekcokan di atas panggung dilihat oleh para pemirsa. Hingga kemudian KH Didin Hafidhuddin sebagai calon presiden dari Partai Keadilan mengeluarkan kalimat-kalimat menyejukkan suasana. Momen itu diapresiasi oleh penonton.
Tahun 99, saya yang masih berseragam SMA sudah ikut berkeliling ke rumah-rumah penduduk mengenalkan partai baru berlambang bulan sabit kembar itu. Tentu saja ditemani kader yang lebih senior. Setelah debat capres, mudah sekali untuk “meng-closing” orang dengan mengungkit kejadian di atas. “Oooh yang capresnya kiai itu? Wah bagus itu, dia menengahi cekcok Amin Rais dengan Yusril,” respon tuan rumah. Lantas pengenalan Partai Keadilan jadi lebih mulus dipaparkan.
Kesantunan kader Partai Keadilan juga masih diakui hingga tahun-tahun berikutnya. Ketika Hidayat Nur Wahid menggantikan Nur Mahmudi Ismail sebagai presiden partai, masyarakat melihat perwakilan sosok santun Partai Keadilan di kancah nasional. Gaya bicara doktor lulusan Universitas Islam Madinah ini tidak ceplas ceplos, tidak ngotot dengan urat wajah menonjol, tidak meninggikan nada, namun khas kelembutan orang Jawa dengan substansi pembicaraan yang berbobot.
Ya, itulah wajah Partai Keadilan, sebelum berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Kesantunan Kader PKS Kini
Namun sekarang saya mendapat kesan yang berbeda. Jauh berbeda dengan yang dahulu, ketika media sosial belum ada. Boleh tidak sependapat, kini yang saya temui kader-kader PKS menjadi sosok yang militan di media sosial dengan bahasa provokatif.
Yang saya dapati, kader PKS punya “sumbu pendek”. Sedikit provokasi bisa hasilkan ledakan emosi. Mudah memvonis dengan berlebihan. Di kemudian hari, ketika seseorang yang terlanjur divonis itu menjadi partner politik PKS, para kader pun jadi salah tingkah.
Sekali lagi boleh tidak sependapat, dan saya tidak menggeneralisasi bahwa semua kader PKS telah kehilangan kesantunan. Tulisan ini hanyalah sarana autokritik, ajang muhasabah, supaya kesantunan yang dulu tetap terjaga. Agar kader PKS seperti saya masih bisa berkata kepada para pembully, “Kalianlah orang pertama yang akan kami santuni.” Maafkan juga bila saya tidak mengemukakan contoh kasus, atau menyebut nama orang sebagai sampel buruk.
Sebenarnya bukan hanya kader PKS saja yang kehilangan kesantunan. Terutama sejak booming media sosial, bangsa ini memang sudah kehilangan keramahan dengan sesamanya. Bangsa ini gampang gaduh, gampang menghujat, gampang berdebat kusir, gampang menyindir dengan meme-meme kreatif usil.
Sejak awal reformasi pun, ketika kran kebebasan berbicara dibuka, semua orang merasa bebas melampiaskan kemarahan di muka publik. Tetapi dulu ada kader PK yang jadi pembeda. Sayangnya kini tak lagi ditemukan pembeda.
Lestarikan Selalu Kesantunan Itu
Presiden PKS Sohibul Iman di berbagai kesempatan sudah berulang kali mengemukakan keresahannya tentang cara bangsa ini menggunakan media sosial. Harusnya kegelisahan itu ditangkap dengan baik oleh kader PKS, lantas menjadi terdepan dalam upaya menghapus kegamangan presiden partainya.
Kesantunan tak cukup dengan memamerkan foto relawan partai yang mengabdi di daerah bencana. Tetapi kesantunan itu terlihat dari bagaimana kita merespon kekecewaan orang, menjawab tudingan orang, atau mempublikasi status di media sosial.
Maka lapangkanlah hati, jangan mudah terprovokasi. Bila ada hal yang perlu didebat, lakukan dengan “billati hiya ahsan”. Bukankah ayat berikut ini yang kita tadabburi dalam halaqoh saat mendapat materi tentang dakwah?
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS An-Nahl: 125.
Kalau dirasa orang yang sedang berbicara itu memang berniat menghujat tanpa mau mendengar penjelasan, maka berpalinglah! Jangan terseret ke dalam pembelaan yang tak berguna dan malah menambah hujatan lebih hebat.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (al-A’raaf: 199)
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al-Qashash: 55)
Jangan pula memulai provokasi. Karena setiap provokasi itu akan mendatangkan balasan yang mungkin lebih parah. Kata pepatah, bila rumah kita terbuat dari kaca, jangan timpuk rumah orang dengan batu.
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS Al-An’am: 108)
Ayat di atas berbicara spesifik tentang provokasi terhadap sembahan orang kafir. Namun ibrahnya berlaku umum, bahwa setiap hasutan akan mendatangkan respon yang bisa lebih buruk.
Introspeksi dan Berikan Uzur Untuk Mereka
Bisa dipahami, bahwa pertempuran haq dan bathil membuat kader PKS yang tinggi ghiroh islamiyahnya membenci setiap kemungkaran beserta icon-iconnya. Ketika ada yang membela hal yang dianggap mungkar, lantas tersulutlah kemarahan.
Tak bisa kah kita selami dulu apa penyebab mereka membela kemungkaran? Mengapa mereka membela pemimpin yang lalim yang kasar dan sewenang-wenang? Atau membela pemimpin yang berkali-kali berdusta namun didewakan sedemikian rupa.
Kita bisa tuding mereka terbuai pencitraan. Namun tetap saja kenyataannya tampilan PKS tak mempesona mereka. Atau kita mau buru-buru menyalahkan media massa yang rajin menyudutkan PKS?
Ingatlah, PKS pernah mempesona khalayak di masa kesantunan kadernya terjaga, atau ketika kader yang menjadi pejabat publik memang menampilkan integritas dengan ketulusan. Masih ingat bagaimana Hidayat Nur Wahid menolak mobil dinas baru untuk pimpinan MPR? Momen seperti ini yang berkesan di mata khalayak. Sayangnya, beberapa lama kemudian tokoh-tokoh dari PKS disoroti soal sikapnya yang bermewah-mewahan.
Atau mungkin karena kalimat-kalimat kita di media sosial yang membuat mereka ilfil. Ada yang mengemukakan kekecewaan, lantas ditanggapi dengan kata-kata yang membuat pendengarnya tak berkenan. Maka larilah mereka semakin jauh.
Bisa jadi karena kita lah mereka sekarang memusuhi. Introspeksi dan berikanlah uzur atas ungkapan kekecewaan yang mereka rasakan. Belum terlambat untuk menampilkan kesantunan.
Ada batas waktunya mereka terpesona pada hal-hal yang kita anggap semu itu. Kelak mereka juga akan bosan. Masyarakat pernah terpesona dengan PKS, lalu SBY, lalu Jokowi. Mengapa tidak berpikir bahwa mereka bisa kembali menerima PKS? Bisa, bila sikap kader di media sosial membuat mereka nyaman.
Satu hal lagi, kesadaran berislam masyarakat Indonesia sekarang semakin tumbuh. Memang kesadaran itu belum ter-shibghoh sampai fikrah. Tetapi pelan-pelan akan menuju kesana. Kelak, ketika makin banyak orang sadar bahwa Islam harus diperjuangkan dalam berbagai dimensi termasuk di dunia politik, bisakah PKS otomatis menjadi sandaran harapan mereka? Tidak! Kalau kader PKS belum apa-apa membuat mereka ilfil.
Maka bersikaplah santun! Tampilkan politik yang bersih! Agar PKS menjadi perahu yang menjulang diangkat gelombang shawah Islamiyah.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Zico Alviandri
Sumber : http://islamedia.id/lestarikanlah-kesantunan-yang-terancam-langka-autokritik-untuk-kader-pks/