Selagi Harapan Masih Mungkin Diwujudkan
Hidup
adalah tentang memilih. Menjadi mulia atau hina. Menjadi pemenang atau pecundang.
Semuanya harus dipilih salah satunya. Namun hidup tidaklah sama dengan bermain
taruhan yang pemenangnya bukan hanya ditentukan oleh suatu keunggulan tapi
lebih karena keberuntungan. Pilihan untuk menjadi pemenang selalu berseiringan
dengan ikhtiar yang maksimal dengan amat banyak mengorbankan
kesenangan-kesenangan hidup yang melenakan. Sebaliknya menjadi pecundang selalu
bersaudara kembar dengan kemalasan. Asyik menikmati kesenangan-kesenangan semu
yang memerdayakan. Bermental lemah untuk berjuang mengatasi setiap badai-badai
kehidupan yang menerjang.
Beruntunglah
mereka yang tak pernah bermain dadu dalam jalani hidupnya. Karena hidup ini
bukan urusan sehari dua hari saja. Setelah kehidupan ini ada kehidupan yang
lebih abadi, akhirat. Dan hidup didunia ini hanyalah sebagai tiket masuk kearah
mana kita nantinya di negeri akhirat. Dan menariknya akhirat juga hanya
memberikan dua pilihan. Surga atau neraka. Tempat yang dipenuhi dengan
kesenangan atau kemelaratan. Hanya dua tempat itulah menjadi hunian kita saat
amanah hidup didunia ini sudah mencamai limitnya.
Dunia
ini adalah sebenarnya-benarnya tempat memintal harapan dan bisa mewujud dalam
kenyataan. Diakhirat kita sebenarnya jauh memiliki harapan. Namun sayangnya
harapan itu tak lagi bisa untuk direalisasikan. Harapan
setelah kematian tidak memiliki kekuatan untuk mewujudkan, terlebih bagi mereka
yang baru menyadari pentingnya berbuat baik ketika kematian telah merenggutnya.
Al-Quran mengabarkan harapan-harapan mereka setelah kematian.
“Berinfaqlah kalian dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian,
sebelum datang pada salah seorang kalian dan ia mengatakan, “Ya Tuhanku
seandainya Engkau tunda kematianku sebentar saja, agar aku bisa bersedekah dan
menjadi orang shalih….” (Qs.
Munafiqun: 10-11).
Itulah harapan dari sekian
harapan yang tak pernah akan kesampaian. Harapan yang lahir dari kesadaran yang
terlambat. Harapan yang hanya menjadi harapan semu. Harapan yang hanya menjadi
debu yang diterbangkan angin. Harapan seperti buih yang tak kuasa melawan
terjangan ombak.
Akhirat tak mengenal dispensasi seperti halnya
yang sering kita dapatkan didunia. Apa yang kita bawa selama didunia inilah
yang menjadi peta jalan yang akan kita lalui dinegeri akhirat nanti. Kaarah Surga atau neraka yang
selalu setia menunggu penghuni-penghuninya.
Bersyukurlah
kita yang masih bisa menikmati nafas kehidupan didunia. Karena harapan kita
selama disini masih bisa untuk diwujudkan. Selagi maut belum datang kita
memiliki kesempatan untuk menyiapkan bekal terbaik.
Setiap
pengharapan selalu bermula dari kesadaran. Namun, hanya kesadaran yang
berkesempatanlah yang bisa mewujud menjadi kenyataan. Batasannya adalah maut. Maka, bersyukurlah bagi kita yang masih diberi
kesempatan oleh Allah untuk menemukan kesadaran dan mewujudkan harapan.
Sementara mereka yang telah tersekat oleh kematian, setiap kesadaran dan
harapan mereka tidak memiliki tenaga untuk mengubah keadaan. Begitulah Al-Quran
merekam gejolak harapan mereka yang telah mati, sementara amal shalih mereka
jauhi ketika hidup.
“Sampai ketika salah seorang mereka didatangkan
kematian, ia berkata, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku untuk bisa beramal shalih
terhadap apa yang aku tinggalkan… “ (QS. Al Muminun : 99 – 100).
Cukuplah
nukilan Surah Al Mukminun ayat 99-100 diatas menyadarkan kita dari pingsannya kemauan mempersembahkan
amal unggulan.